Artikel ini ditulis oleh Dr Daud Rasyid. Menerangkan mengenai kepentingan berfikir dan batas untuk berfikir. Diharap informasi ini dapat menjelaskan kepada umum mengenai bagaimana kita tidak harus menghakimi kes sumpah Saiful dan sumpah Datuk Seri Najib. Bahawa sesetengah perkara seharusnya diserahkan kepada Allah swt untuk mengelakkan fitnah dan kejatuhan ummah. Insyaallah.
http://daudrasyid.com/index.php?option=com_content&task=view&id=27&Itemid=1Menempatkan posisi akalAkal adalah karunia Allah yang amat berharga. Dengan akal manusia dapat menjalankan fungsinya sebagai ‘khalifah’ di muka bumi dengan sebaik-baiknya. Bahkan dalam terminologi Ilmu Ushul Fiqh, akal dianggap sebagai poros penugasan hukum-hukum Syari`at (manath at-taklif). Maksudnya, hanya orang-orang yang berakal sehat dan berfikir waras saja yang dapat ditaklif.
Karena fungsi akal yang demikian besar, maka sewajarnya ia harus dilindungi secara proporsional dengan cara merumuskan seperangkat aturan yang mendukung kehormatan akal. Tak terlalu berlebihan jika dikatakan, agama yang paling concern dengan persoalan akal adalah Islam. Perhatian itu sampai ke tingkat menjadikan akal sebagai salah satu dari lima elemen yang harus dilindungi dan dipertahankan dalam hidup manusia (al-maqashid al-khamsah), di samping: agama, jiwa, kehormatan, dan harta. Dengan ungkapan lain setiap benda, juga perbuatan yang dapat mengganggu stabilitas akal dinyatakan terlarang dan mengandung konsekuensi hukum.
Berfikir, sebagai fungsi utama akal, tidak sekadar dianjurkan, tetapi sudah merupakan keharusan (faridhah Islamiyah). Hal ini paling tidak pernah diungkap oleh Al-`Aqqad, seorang pemikir Mesir. Ungkapan ini tidak dapat dinilai berlebihan. Sebab, banyak ayat-ayat di dalam Al-Qur’an, secara langsung atau tidak langsung, yang mendukung kebenaran tesis itu. Pada intinya, kebebasan berfikir dilindungi dalam Islam. Tapi, yang mungkin menjadi persoalan, sejauhmana ruang kebebasan itu diberikan, dalam arti apakah manusia boleh berfikir sebebas-bebasnya tanpa mengenal batas, hingga akal bebas mendiskusikan dunia yang bukan dunianya (makrokosmos)? Apakah akal manusia dibebaskan berbicara tentang zat Allah, alam akhirat dan sejenisnya sehingga ia menerapkan paradigmanya pada dunia metaphisik, dan akhirnya terperosok pada kekeliruan seperti yang dialami filosuf-filosuf Yunani dahulu kala dan kaum Mu`tazilah dalam sejarah Islam? Atau dengan kata lain, adakah kerangka metodologis yang laik digunakan sebagai paradigma dalam berfikir?
Suatu hal yang tak dapat dipungkiri siapapun, bahwa manusia adalah makhluk yang serba terbatas. Maka akalpun, sebagai elemen dari manusia menyimpan watak ‘terbatas’ pula. Nah, sesuatu yang terbatas (definite=al-mahdud)) tidak akan dapat mendiskusikan sesuatu yang tidak terbatas (undefinite=ghair al-mahdud). Hal ini bukan mendiskreditkan akal sebagai barang paling berharga milik manusia, tetapi meletakkan manusia pada proporsinya yang sepadan. Sebab, membebani akal dengan fungsi di luar batas kemampuannya yang normal, bukan lagi sebagai penghargaan, tetapi justru berbalik menjadi ‘penganiayaan’. Barangkali ini sangat rasional.
Diskusi berikutnya, adalah bagaimana pengklasifikasian ruang-ruang yang menjadi obyek kajian akal manusia. Di sini agama tampil memberikan jawaban dengan menunjuk bahwa alam ghaib (metaphisik) adalah "teritorial" yang berada di luar lapangan akal. Keterbatasan akal dalam menembus ruang ini, sudah merupakan aksioma yang tak dapat dibantah. Dan yang berhak memberikan informasi tentang alam keakhiratan (eskatologi), dan makrokosmos lainnya adalah wahyu (Al-Qur’an ataupun Hadits Nabi). Ketika akal memaksa dirinya untuk mendiskusikan alam ghaib -seperti kehidupan di alam kubur, hari berbangkit, perhitungan, ganjaran syurga, neraka, dll.- berarti ia memasuki ruang hampa yang tak terhingga dan berakhir dengan kebuntuan. Akal pada akhirnya mengkhayal dan membuat konklusi yang aneh. Di sinilah barangkali ketergelinciran faham Mu`tazilah dalam sejarah Islam. Paradigma berfikir Mu`tazilah, memberi otoritas pada akal secara berlebihan, hingga akal diberi otoritas untuk mengadili nash. Konsekuensinya, nash-nash (teks agama) yang dianggap tidak rasional menurut versi Mu`tazilah, akan mereka tolak, betapapun kuat validitasnya, atau paling tidak ditakwil agar relevan menurut akal, kendatipun pentakwilan itu berlangsung dengan cara yang terkesan mengada-ada (ta`assuf). Atas dasar itu Mu`tazilah menolak banyak hadits-hadits shahih tentang alam ghaib, seperti pertanyaan di alam kubur berikut siksaannya, juga tentang mizan, shirath, melihat Allah, dll. Padahal soal akhirat dan metafisik lainnya adalah persoalan ghaib yang pendekatannya tidak harus menggunakan akal. Dan sikap yang tepat dalam kaitan ini barangkali, adalah menerima apa adanya informasi-informasi tentang alam ghaib dari sumber-sumber terpercaya, tanpa harus memaksa teks-teks itu tunduk pada kekuasaan akal. Inilah sikap yang diperankan oleh para pendahulu umat Islam, seperti sahabat dan tabi`in yang pernah dijamin oleh Nabi keabsahannya. Sebab, kalaupun akal dipaksa harus menjawab persoalan-persoalan itu, toh tidak akan berpengaruh pada reputasi akal dalam dimensi alam nyata yang digelutinya.
Bangsa-bangsa maju seperti Jepang, Korea dll yang tidak pernah terjebak dalam diskusi panjang tentang tema ‘merasionalisasikan alam ghaib’, meraih puncak kesuksesannya dalam dunia materi. Sementara mereka yang tenggelam dalam perdebatan itu, belum menampakkan hasil yang berarti dalam dunia empirik. Ringkasnya bukan itu parameter kemajuan berfikir. Bahkan ada analisis dari sejumlah pemikir terkemuka di dunia Arab, yang menyebutkan bahwa keterbelakangan umat Islam dalam beberapa abad terakhir ini disebabkan mereka terjebak dalam metode filosofis yang tak ada ujungnya dan meninggalkan metode empiris yang pada semula mereka kembangkan. Sebagaimana dalam posisi lain, barat mengambil sikap sebaliknya. Mereka mengadopsi metode empiris yang diajarkan ilmuan Islam kepada mereka, dan melepas konsep filsafat ala Yunani Kuno diambil umat Islam. Paradigma inilah yang mengantarkan barat meraih kegemilangan dalam dunia peradaban. Jadi, pertukaran itu kalau boleh diibaratkan, umat Islam menyerahkan "permata"nya kepada barat, dan menerima barang "busuk" sebagai imbalannya.
Ruang yang sesungguhnya merupakan "kapling" akal adalah alam phisik atau taufiqiyah (dunia materi), dunia yang tunduk pada prinsip-prinsip eksperimen, seperti merekayasa pembangunan bumi. Manusia diberi kebebasan untuk menyingkap rahasia alam dan memanfaatkannya sebagai sarana penunjang kehidupan, seperti menciptakan peralatan teknologi canggih. Metode yang digunakan di sini adalah eksperimental dan empirik.
Kekeliruan banyak orang adalah terperangkap dalam jebakan kemajuan modernisasi. Kesuksesan manusia dalam dunia iptek menggesanya untuk melakukan ekspansi dengan beroperasi di jalur ‘tauqifiyah’, alam ghaib atau makrokosmos. Seolah-olah manusia berkata, sekarang tidak ada lagi kawasan terlarang bagi rasio atau akal, karena akal manusia telah menunjukkan keberhasilannya secara luar biasa. Kalau ditarik lebih jauh lagi, akal manusia dapat menemukan dengan sendirinya ‘yang baik’ dan ‘yang buruk’ dalam hidupnya tanpa bantuan agama. Ujung-ujungnya, manusia mampu hidup tanpa agama.
Kekeliruan kelompok yang berpikir seperti ini adalah kekeliruan dalam mengidentifikasi ruang-ruang berfikir akal itu. Ketika akal manusia berhasil dalam dunia iptek, melakukan revolusi informasi, transportasi, sebenarnya adalah keberhasilan yang wajar, karena akal beroperasi pada jalurnya secara legal (taufiqiyah). Tetapi, jika manusia memaksa akalnya agar berbicara dalam dunia metafisik, merasionalisasikan azab kubur, kenikmatan di dalam syurga, proses perhitungan di hari akhirat, dll demikian pula ambisi mengoreksi ketetapan-ketetapan Allah yang berharga mutlak (Qath`iy) -seperti kenapa wanita diwajibkan berhijab, kenapa riba diharamkan, kenapa zina dihukum rajam, pembunuh dihukum qishash, penindasan diharamkan, kenapa bagian wanita separuh dari bagian lelaki dalam warisan- dan berupaya merekayasa peraturan-peraturan sendiri dengan menggunakan akalnya, maka di sini akal telah beroperasi di luar jalurnya. Akal tidak akan meraih kesuksesan seperti kesuksesannya di ruang ‘taufiqiyah’, sains dan teknologi. Bahkan manusia akan menghadapi krisis hidup yang resikonya tidak sederhana.
Islam merangsang akal untuk mengembangkan budaya dan peradabannya dengan sains dan teknologi, selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai sakral dan moral. Posisi agama dalam pembangunan adalah sebagai pengontrol kelangsungan dan kesesuaiannya dengan nilai-nilai agama. Sebab pengembangan peradaban yang lepas kontrol akan berbalik menjadi "bumerang" bagi umat manusia. Memang di satu sisi kemajuan teknologi merupakan kebutuhan dan kesenangan, tapi dalam kondisi tertentu dapat merugikan manusia secara umum. Dampak negatif dari kemajuan iptek sudah sering menjadi pembicaraan kalangan intelektual dan harus dicarikan solusinya. Yang paling merasakan ancaman-ancaman ini adalah bangsa-bangsa yang hidup dalam dunia teknologi maju. Bahaya yang timbul akibat pengembangan industri senjata, reaktor atom, polusi udara, kerusakan lingkungan hidup, menipisnya lapisan ozon, dsb sudah menjadi momok yang sangat menakutkan di zaman modern ini. Sebab manusia yang menjadi pelaku pembangunan akan sangat berpengaruh bagi teknologi yang dikembangkan (the man behind the gun).
Jika diamati revolusi iptek yang disponsori Amerika dan negara-negara barat serta dampak negatif yang ditimbulkannya, agaknya kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa barat telah gagal dalam memimpin peradaban manusia. Sebab peradaban materialistik yang dihasilkannya menimbulkan ekses negatif yang diderita umat manusia jauh lebih dahsyat ketimbang keuntungan yang diraih. Krisis yang beragam dan bertubi-tubi seperti krisis sosial, ekonomi, politik, moral, kemanusiaan, lingkungan, kejiwaan, dan krisis-krisis lainnya merupakan bukti nyata akan kegagalan peradaban barat. Kerugian yang besar ini masih belum terbayar oleh kecanggihan teknologi yang diprakarsai Barat. Sekarang saatnya kita membangun peradaban baru yang berdiri sendiri yang spesifik dan religius.